Beranda | Artikel
5 Faedah Seputar Memaafkan
Sabtu, 16 Juli 2022

5 Faedah Seputar Memaafkan

Faedah 1: Memaafkan itu lebih utama dan merupakan akhlak mulia

Di antara akhlak yang mulia adalah seseorang memaafkan orang yang berbuat zalim kepadanya. Allah ta’ala berfirman:

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS. Ali Imran: 134).

Allah ta’ala juga berfirman:

وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى

“Dan jika kamu memaafkan itu lebih dekat kepada takwa” (QS. al-Baqarah: 237).

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjelaskan: “Di antara bentuk bermuamalah dengan akhlak mulia kepada orang lain adalah jika anda dizalimi atau diperlakukan dengan buruk oleh seseorang, maka anda memaafkannya. Karena Allah ta’ala telah memuji orang-orang yang suka memaafkan orang lain” (Makarimul Akhlak, hal. 25).

Dan membalas kezaliman dengan pemaafan itu merupakan bentuk membalas dengan kebaikan yang Allah sebutkan dalam firman-Nya:

وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Balaslah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik. Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia” (QS. Fushilat: 34).

Orang yang memaafkan juga dianggap melakukan sedekah. Dari Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ رَجُلٍ يُجْرَحُ فِي جَسَدِهِ جِرَاحَةً فَيَتَصَدَّقُ بِهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ عَنْهُ مِثْلَ مَا تَصَدَّقَ بِهِ

“Tidaklah seseorang yang badannya dilukai oleh orang lain, kemudian ia bersedekah dengan memaafkannya (tidak menuntut diyat), kecuali Allah akan hapuskan dosanya sebanding dengan pemaafan yang yang ia sedekahkan” (HR. Ahmad no.22701, dishahihkan al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah no.2273).

Oleh karena itu, sifat suka memaafkan adalah sifat yang seharusnya menjadi tabiat seseorang dan sifat yang seharusnya dipaksakan oleh seseorang kepada dirinya ketika ia dizalimi. 

Faedah 2: Memaafkan itu tidak wajib, namun mustahab (dianjurkan)

Para ulama mengatakan bahwa memaafkan itu hukumnya tidak wajib. Seorang yang dizalimi boleh saja tidak memaafkan orang menzaliminya. Allah ta’ala berfirman:

وَٱلَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ ٱلْبَغْىُ هُمْ يَنتَصِرُونَ . وَجَزَاء سَيّئَةٍ سَيّئَةٌ مّثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى ٱللَّهِ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ ٱلظَّـٰلِمِينَ

“Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri. Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim” (QS. asy-Syura: 39-40).

Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsirnya menjelaskan:

فشرع العدل وهو القصاص ، وندب إلى الفضل وهو العفو

“maka disyariatkan untuk berbuat adil, yaitu qishash. Dan disunnahkan berbuat fadhl (utama) yaitu memaafkan”.

Sehingga orang yang dizalimi oleh orang lain, punya tiga pilihan sikap:

  1. Membalas dan menghukum orang yang dizaliminya sesuai ketentuan syariat.
  2. Bersabar, tidak membalas dan tidak menghukum, namun tidak memaafkan.
  3. Bersabar, tidak membalas dan tidak menghukum, serta memaafkan orang yang menzaliminya.

Namun perlu diketahui bahwa kezaliman yang tidak dimaafkan, kelak akan dibalas di akhirat! Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَن كَانَتْ له مَظْلَمَةٌ لأخِيهِ مِن عِرْضِهِ أَوْ شيءٍ، فَلْيَتَحَلَّلْهُ منه اليَومَ، قَبْلَ أَنْ لا يَكونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ، إنْ كانَ له عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ منه بقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ، وإنْ لَمْ تَكُنْ له حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِن سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عليه

“Orang yang pernah menzalimi saudaranya dalam hal apapun, maka hari ini ia wajib meminta perbuatannya tersebut dihalalkan oleh saudaranya, sebelum datang hari di mana tidak ada ada dinar dan dirham. Karena jika orang tersebut memiliki amal shalih, amalnya tersebut akan dikurangi untuk melunasi kezalimannya. Namun jika ia tidak memiliki amal shalih, maka ditambahkan kepadanya dosa-dosa dari orang yang ia zhalimi” (HR. Bukhari no.2449).

Maka orang yang berbuat zalim hendaknya berusaha untuk meminta maaf dan meminta kehalalan dari orang yang dizaliminya. Jangan sampai urusannya dituntut di akhirat yang tentunya lebih berat dan lebih sulit daripada urusan di dunia.

Faedah 3: Boleh membalas keburukan dengan yang semisal

Hal ini berdasarkan dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Allah ta’ala berfirman:

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan melakukan perbaikan maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. asy-Syura: 40).

Allah ta’ala juga berfirman:

فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُواْ عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى

“Barangsiapa menyerang kamu, maka seranglah dia setimpal dengan serangannya terhadap kamu” (QS. al-Baqarah: 194).

Allah ta’ala juga berfirman:

وَجَزَاء سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا

“Balasan untuk keburukan adalah keburukan yang semisal” (QS. asy-Syura: 40).

Demikian juga sebagaimana hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:

وما انتقم رسول الله صلى الله عليه وسلم لنفسه، إلَّا أن تُنْـتَهَك حُرْمَة الله، فينتقم لله بها

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah membalas keburukan terhadap dirinya, kecuali jika kehormatan Allah dilanggar, maka beliau akan membalas karena Allah” (HR. Bukhari no.3560, Muslim no.2327).

Namun bolehnya membalas keburukan yang dilakukan oleh orang lain, harus memenuhi dua syarat:

  1. Pembalasan harus sama dan setara, tidak boleh lebih dari setara.

Asy-Syaukani dalam Fathul Qadir mengatakan:

هذا الانتصار مشروط بالاقتصار على ما جعله الله له وعدم مجاوزته، كما بينه سبحانه عقب هذا بقوله: وجزاء سيئة سيئة مثلها ـ فبين سبحانه أن العدل في الانتصار هو الاقتصار على المساواة

“Pembalasan ini disyaratkan hanya mencukupkan diri pada batasan yang Allah tetapkan dan tidak boleh melebihi batasan tersebut. Sebagaimana Allah jelaskan di dalam ayat (yang artinya): “Dan balasan bagi keburukan adalah keburukan semisalnya” (QS. asy-Syura: 40). Maka di sini Allah menjelaskan bahwa sikap adil dalam membalas adalah mencukupkan diri dengan balasan yang setara”.

  1. Tidak boleh membalas pada perbuatan yang ada hukuman hadd-nya.

Al-Absyihi rahimahullah mengatakan:

والذي يجب على العاقل إذا أَمْكَنه الله تعالى أن لا يجعل العقوبة شيمته، وإن كان ولا بدَّ مِن الانتِقَام، فليرفق في انتقامه، إلَّا أن يكون حدًّا مِن حدود الله تعالى

“Yang wajib menjadi pegangan orang yang berakal selama masih memungkinkan adalah tidak menjadikan sifat suka membalas sebagai tabiatnya. Dan jika memang harus membalas maka balaslah dengan lemah lembut. Kecuali jika pada perbuatan yang terhadap hukuman hadd-nya” (Al-Mustathraf, hal. 197).

Maka perbuatan yang ada hukuman hadd-nya seperti zina, pencurian, perampokan, pembunuhan, dan lainnya, wajib diserahkan kepada ulil amri mengenai eksekusi hukumannya.

 Faedah 4: Lebih utama memaafkan orang yang tergelincir

Orang baik yang melakukan kesalahan atau kezaliman karena tergelincir bukan orang yang dikenal suka melakukan keburukan, maka lebih utama untuk dimaafkan daripada dihukum atau dilaporkan kepada ulil amri. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

أَقِيلُوا ذَوِي الْهَيْئَاتِ زَلَّاتِهِمْ

“Maafkanlah ketergelinciran orang-orang yang baik” (HR. Ibnu Hibban no.94, dishahihkan al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah, no.638)

Dalam riwayat lain:

أقيلوا ذوي الهيئات عثراتهم ، إلا الحدود

“Maafkanlah ketergelinciran dzawil haiah (orang-orang yang baik namanya), kecuali jika terkena hadd” (HR. Abu Daud no.4375, dishahihkan al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah, no.638).

Imam asy-Syaukani rahimahullah mengatakan:

وَحَدِيثُ عَائِشَةَ فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ يُشْرَعُ إقَالَةَ أَرْبَابِ الْهَيْئَاتِ إنْ وَقَعَتْ مِنْهُمْ الزَّلَّةُ نَادِرًا وَالْهَيْئَةُ صُورَةُ الشَّيْءِ وَشَكْلُهُ وَحَالَتُهُ، وَمُرَادُهُ أَهْلُ الْهَيْئَاتِ الْحَسَنَةِ

“Dalam hadis Aisyah ini terdapat dalil bahwa disyariatkan memaafkan orang yang memiliki nama baik jika mereka tergelincir sedikit dalam kesalahan. Dan haiah artinya bentuk dan keadaan dari sesuatu. Maksudnya adalah orang yang memiliki keadaan yang baik (agamanya)” (Nailul Authar, 7/163).

Adapun orang yang memang dikenal melakukan keburukan maka tidak ada anjuran untuk memaafkannya. An-Nawawi mengatakan:

الْمُرَادُ بِهِ السَّتْرُ عَلَى ذَوِي الْهَيْئَاتِ وَنَحْوِهِمْ مِمَّنْ لَيْسَ هُوَ مَعْرُوفًا بِالْأَذَى وَالْفَسَادِ فَأَمَّا المعروف بذلك فيستحب أن لا يُسْتَرَ عَلَيْهِ بَلْ تُرْفَعَ قَضِيَّتَهُ إِلَى وَلِيِّ الْأَمْرِ إِنْ لَمْ يَخَفْ مِنْ ذَلِكَ مَفْسَدَةً

“Maksudnya adalah menutupi kesalahan orang yang memiliki nama baik dan semisal mereka yang tidak dikenal gemar melakukan gangguan dan kerusakan. Adapun orang yang gemar melakukan gangguan dan kerusakan maka dianjurkan untuk tidak ditutup-tutupi kesalahannya bahkan dianjurkan untuk diajukan perkaranya kepada waliyul amri, jika tidak dikhawatirkan terjadi mafsadah” (Syarah Shahih Muslim, 16/135).

Ulil amri atau hakim pun boleh memaafkan atau membatalkan hukuman ta’zir, bagi orang yang baik yang melakukan kesalahan karena tergelincir. Al-Khathabi mengatakan:

وفيه دليل على أن الإمام مخير في التعزير إن شاء عزر وإن شاء ترك ولو كان التعزير واجبا كالحد لكان ذو الهيئة وغيره في ذلك سواء

“Dalam hadis ini terdapat dalil bahwa imam (penguasa) boleh memilih untuk memberikan hukuman ta’zir atau tidak memberikannya. Andaikan ta’zir itu wajib maka antara orang yang baik namanya dengan yang bukan akan sama kedudukannya” (Ma’alim as-Sunan, 3/300).

Faedah 5: Terkadang menghukum lebih utama dari memaafkan

Walaupun memaafkan itu lebih utama, namun ini tidak dalam semua keadaan. Ada keadaan di mana tidak memaafkan itu lebih utama. Allah ta’ala berfirman:

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan melakukan perbaikan maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. asy-Syura: 40).

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjelaskan: “Dalam ayat ini Allah menggandengkan pemaafan dengan ishlah (perbaikan). Maka pemaafan itu terkadang tidak memberikan perbaikan.

Terkadang orang yang berbuat jahat pada anda adalah orang yang bejat, yang dikenal oleh masyarakat sebagai orang yang buruk dan rusak. Jika anda memaafkannya, maka ia akan semakin menjadi-jadi dalam melakukan keburukannya dan semakin rusak. Maka yang lebih utama dalam kondisi ini, anda hukum orang ini atas perbuatan jahat yang ia lakukan. Karena dengan demikian akan terjadi ishlah (perbaikan).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:

الإصلاح واجب والعفو مندوب, فإذا في العفو فوات الإصلاح فمعنى ذلك أننا قدمنا مندوبا على الواجب. هذا لا تأتي به الشريعة

Ishlah (perbaikan) itu wajib, sedangkan memaafkan itu sunnah. Jika dengan memaafkan malah membuat tidak terjadi perbaikan, maka ini berarti kita mendahulukan yang sunnah daripada yang wajib. Yang seperti ini tidak ada dalam syari’at”

Sungguh benar apa yang beliau sebutkan, rahimahullah” (Makarimul Akhlak, hal. 27).

Demikian beberapa faedah seputar memaafkan, semoga bermanfaat.

***

Oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.


Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/38747-5-faedah-seputar-memaafkan.html